Rabu, 24 Februari 2010

Training outbound

amis, 25/02/2010 14:07 WIB
Kisah Penipu Ulung
Buru Selly, Polresta Bogor Gandeng Polda Metro
Fitraya Ramadhanny - detikNews

facebook.com
Bogor - Polresta Bogor ikut outbound malang bergerak memburu Selly Yustiawati alias Rasellya Rahman Taher. Mereka akan berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya untuk mengusut pelaku penipuan di sejumlah kota itu.

"Kita akan segera koordinasikan kota batu dengan pariwisata malang Polda Metro Jaya," kata Kasatreskrim Polresta Bogor AKP Irwansyah di Mapolresta Bogor, Kamis (25/2/2010).

Selasa, 23 Februari 2010

Skandal Century Siang Nanti, Pansus Bahas Kesimpulan Akhir Fraksi

Rabu, 24/02/2010 03:17 WIB
Skandal Century
Siang Nanti, Pansus Bahas Kesimpulan Akhir Fraksi
Elvan Dany Sutrisno - detikNews


Jakarta - Delapan fraksi telah mengemukakan pandangan akhirnya soal skandal Bank Century. Seluruh pandangan outbound tersebut akan dibahas siang nanti oleh Pansus Century.

"Nanti pukul 14.00 WIB akan kita lakukan pembahasan terhadap pandangan fraksi ini," kata pimpinan Pansus Mahfud Sidiq sebelum menutup rapat sidang di Gedung DPR, Rabu (24/2/2010).

Delapan fraksi di pansus telah outbound malang menyampaikan pandangan mereka terhadap kasus Century. Diawali dari fraksi Partai Demokrat hingga Hanura.

Menurut Mahfud, seluruh kesimpulan rafting fraksi akan diolah terlebih dahulu oleh tim ahli. Kemudian pimpinan pansus akan melakukan kompilasi.

Mahfud menambahkan, hasil pembahasan pandangan fraksi akan dilanjutkan ke Badan Musyawarah (Bamus). "Sebelum di bawa ke Paripurna," tandasnya.

(mok/mok)

Senin, 22 Februari 2010

outbound training


Cerita Miring Dokter Indonesia di Time


(Foto: Time)
Jakarta, Orang Indonesia tentunya sudah hapal sistem kesehatan di Indonesia yang masih jauh dari maksimal. Outbound malang Tapi kalau cerita miring soal kredibitas dokter Indonesia sampai diulas secara internasional tentunya harus menjadi perhatian khusus.

Situs majalah Time edisi 17 Februari 2010 memaparkan sebuah esai panjang tentang bagaimana memprihatinkannya kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tulisan tersebut ditulis wartawan Jason Tedjasukmana, yang menjadi koresponden untuk Time Asia.

Cerita Miring Dokter Indonesia di Time


(Foto: Time)
Jakarta, Orang Indonesia tentunya sudah hapal sistem kesehatan di Indonesia yang masih jauh dari maksimal. Outbound malang Tapi kalau cerita miring soal kredibitas dokter Indonesia sampai diulas secara internasional tentunya harus menjadi perhatian khusus.

Situs majalah Time edisi 17 Februari 2010 memaparkan sebuah esai panjang tentang bagaimana memprihatinkannya kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tulisan tersebut ditulis wartawan Jason Tedjasukmana, yang menjadi koresponden untuk Time Asia.

Intinya si jurnalis ingin menceritakan minusnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Berkaca dari pengalaman pribadinya outbound yang menderita sakit mata. Di saat tak ada satu dokter Indonesia pun yang bisa mendiagnosis penyakitnya, dokter Amerika bisa mengetahuinya hanya dalam 5 menit.

Seperti dikutip dari Time, Selasa (23/2/2010), Jason menceritakan kisahnya.

Saya tidak pernah menduga akan menceritakan sistem kesehatan di Indonesia yang buruk. Meski saya merasa ragu dengan prosedur outbound malang kesehatan di negara yang sudah saya tempati sejak tahun 1994 ini, tapi saya cukup percaya dengan dokter-dokter lokal di Indonesia. Tapi ternyata saya salah.

Pada April 2009, mata kanan saya mulai gatal dan memerah. Penglihatan saya mulai kabur tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mata saya. Akhirnya saya menemui dokter dan disarankan untuk menemui outbound malang spesialis karena masalahnya diperkirakan ada pada kornea.

Saya pun mengikuti sarannya, tapi setelah berkeliling dan menemui banyak dokter spesialis mata di Jakarta, keadaan mata saya justru semakin memburuk. Seminggu kemudian, saya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan mencari pengobatan di luar, tapi ternyata sudah terlambat.

Kondisi kornea saya sudah terlanjur rusak. Dokter di Singapura tempat saya berkunjung dan juga hampir kebanyakan orang Indonesia yang ingin berobat menyarankan agar dilakukan transplantasi kornea jika teknik lainnya gagal. Akhirnya saya memutuskan pergi ke Amerika untuk mencari jalan lain.

Menurut saya, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia jauh dari memadai. Hal tersebut diakui pula oleh mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr Kartono Mohammad. "Kita tidak punya sistem kesehatan. Tidak ada kontrol terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Indoensia," ujar Dr Kartono.

Untuk tahun 2010, menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih telah mengalokasikan dana sebesar 2,2 miliar dolar AS atau Rp 22 triliun untuk anggaran kesehatan, tapi angka itu dianggap masih kurang dan seharusnya sebesar 110 miliar miliar dolar (Rp 110 triliun). "Tentu saja itu masih belum cukup, tapi sistem pelayanan kesehatan sudah termasuk di dalamnya," tutur Endang.

Tentu saja tidak mengejutkan jika ratusan warga Indonesia meninggal tiap tahunnya akibat tuberculosis, malaria, demam berdarah dan penyakit lainnya. Tapi yang membuat saya bingung adalah bagaimana sebuah penyakit mata yang saya alami tidak terdiagnosa oleh satu pun dokter, padahal penyakit itu bisa memicu kebutaan.

Saya terpaksa pergi ke Amerika karena enam dokter di Indonesia sudah tidak bisa menjelaskan penyakit tersebut. Berbeda dengan dokter Indonesia, seorang dokter di Michigan langsung bisa mendiagnosis masalah dalam 5 menit.

"Anda terkena penyakit vernal conjunctivitis. Jika dokter di sana melihat dan memeriksa bagian di bawah kelopak mata Anda, penyakit ini sebenarnya bisa langsung ketahuan," ujar dokter Michigan yang memeriksa Jason.

Menurut Jason, sebenarnya para dokter di Indonesia sudah memeriksa bagian tersebut. Tapi tidak ada satu dokter pun yang menyadarinya dan melewatkannya begitu saja. Dokter di Jakarta hanya memberi steroid untuk mengurangi pembengkakan padahal setelah diperiksa di Amerika, pemakaian steroid justru akan memperparah keadaan.

Dokter di Jakarta juga melakukan pembersihan mata dengan cara mengurangi lapisan mata. Harapannya yaitu agar tumbuh lapisan baru di atas lapisan kornea yang rusak. Namun sakit yang dirasakan seperti ada keramik atau kaca yang ditusuk ke dalam mata saya.

Sebenarnya saya ingin menggugat dokter tersebut tapi Dr Kartono dan pakar kesehatan lainnya mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan kasus malpraktik di Indonesia sangatlah kecil bahkan penggugat bisa jadi harus membayar kerugian yang lebih besar.

Setelah 9 bulan mengeluarkan ribuan dolar dan menjalani prosedur pengobatan di Amerika, 50 persen penglihatan saya sudah kembali normal. Meski saya masih merasa pusing dan tidak nyaman dengan ketidakseimbangan penglihatan kiri dan kanan, tapi saya optimistis mata saya akan kembali normal.

Saya sangat beruntung karena bisa mencari pengobatan di luar, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu dan tidak tahu harus berobat kemana? Semakin saya bertanya pada dokter-dokter di Jakarta, semakin banyak kekhawatiran dan cerita horor yang timbul.

Kasus Prita Mulyasari yang berani mengkritik sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah satu contoh bahwa ada yang salah dengan sistem kesehatan di Indonesia. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan setelah ini, tapi saya menyarankan agar Prita punya keberanian untuk menantang sistem yang sudah banyak mengorbankan orang banyak.
Sumber : Nurul Ulfah – detikHealth